Mars Keluarga Berencana dan kenangan tempo doeloe

11 06 2007

Sepulang dari nguli (baca: cari nafkah) yang lumayan gempor, biasanya gue langsung mandi disambung salat maghrib (kalo masih ada waktu) dan ditutup makan malam seadanya, kalo adanya nasi ya… makan nasi doang.

Sebetulnya bukan kerja di kantor yang bikin badan gue ngeretek tapi itu loh traffic jam di Jakarta yang laknatullah bikin semua badan kerasa digebukin. Tau sendiri dong, keadaan Jakarta pas jam pulang kantor. Macet, semrawut, polusi, belum lagi kalo ngeliat ulah supir angkutan umum. Bikin gondok sampai ke ubun-ubun.

Biasanya, ba’da makan malam tuh saat-saat yang paling membahagiakan. Ngelurusin badan di teras samping rumah ditemanin angin sepoi-sepoi, sawang-sinawang ngitungin bintang di langit sambil bercanda sama kedua anak gue.

Nggak sengaja tadi malam iseng-iseng pasang head set nyetel radio via ponsel cari gelombang FM. Eh… yang pertama tertangkap adalah siaran warta berita RRI jam delapan malam. Dalam hati pengen juga sekali-kali dengerin saluran radio pemerintah. Nggak lama kemudian siaran berita selesai.

Nah awalnya dari sini, gue sangat takjub –lebih tepat heran–. Apa pasal? Selesai warta berita ternyata ada jingle kampanye program pemerintah yang bikin pikiran gue terpaksa reminisce about my childhood. Ingak-ingak… ting. Itu Mars Keluarga Berencana. Gila asli jadul banget!

Gue nikmatin mars itu sampai selesai, kayaknya gue lagi masuk lorong waktu. Lorong yang mengantar gue kembali 30 tahun ke belakang. Itu mars jaman orde baru yang sampai sekarang masih setia aja disetel RRI. Terus terang kalo gue dengerin mars keluarga berencana (KB), gue jadi haru banget sama nih lagu.

Inget masih SD. Kalo pas lagi belajar, gue ditemenin sama radio dua band yang pake dua batere. Mars KB ini yang gue dengerin setiap malam. Kalau di TVRI mungkin lagu Garuda Pancasila yang juga ditayangin pas udahan siaran warta berita.

Waktu itu pemerintah emang lagi gencar-gencarnya mengkampanyekan gerakan keluarga berencana, nah… salah satu alat yang paling efektif adalah radio.

Karena saat itu televisi belum banyak jumlahnya, jadi radio adalah piranti mujarab buat pengantar pesan-pesan pemerintah. Radio juga satu-satunya alat komunikasi dan hiburan yang paling murah dan praktis buat masyarakat. Kampanye KB yang dicanangkan tahun 70’an sampai sekarang masih ada, namun gaungnya enggak sedahsyat di era orde baru.

Baca entri selengkapnya »





Pasar kaget (…di Cakung) yang selalu macet

6 06 2007

Jangan pernah lewat jalan baru yang menghubungkan Pondok Kopi dan Kranji, Bekasi sore hari pada Sabtu dan Minggu, kalo nggak mau terjebak kemacetan. Di hari-hari itu puluhan bahkan ratusan pedagang dadakan menggelar barang dagangannya. Hasilnya jalan dua arah tersebut jadi macet… cet… cet. Tiap akhir pekan, sepanjang jalan tembus disisi rel akan dijejali para pedagang kaki-lima yang memulai kegiatannya mulai pukul 16.00 sampai maghrib. Jadi kalo bawa kendaraan, lebih-lebih roda empat jangan pernah mencoba melintas jalur tersebut. Terkecuali kalo anda memang hobi dengan kemacetan.

Bayangkan, jalur sepanjang lebih kurang 300 meter ke arah stasiun Cakung tepatnya di depan Perumahan Duta Kranji nyaris dipenuhi oleh lapak dan gerobak. Cuma disisakan satu jalur saja buat pengguna kendaraan yang kebanyakan para pengunjung pasar kaget ini. Ironinsya, disitu nggak ada lahan parkir, jadinya semua pengunjung memarkir kendaraan di kiri-kanan trotoar jalan, what a completely crowded. Sesungguhnya jalan ini merupakan alternatif bagi pengguna kendaraan yang mau ke arah Bekasi atau sebaliknya. Sebelumnya, akses mereka

cuma bisa melalui perumahan Pondok Kopi dan jalan Bintara Raya, untuk melanjutkan ke Cakung, Kranji atau Bekasi. Di sini –di pasar yang ada berbarengan dengan mulai dibukanya jalan raya itu– cari apa saja ada. Dari peniti sampai mobkas (mobil bekas). Bahkan dealer motor juga ada.

Mau makan juga nggak usah kuatir, penjual makanan banyak bertebaran. Yang bawa anak ada arena bermain sejenis boom-boom car. Pokoknya komplet deh. Tiap minggunya pun jumlah pedagang dan pengunjung ditengarai terus bertambah.Contohnya, kalo minggu ini anda tidak menjumpai penjual helm, maka minggu depannya pasti ada yang jual helm. Jenis kulinernya juga bervariasi. Yang biasanya sate padang, siomay atau bubur ayam, sekarang udah ada tahu petis Surabaya. Cuma ekses yang timbul kemudian adalah, pertama, adanya pasar kaget itu jelas sangat mengganggu kelancaran pengguna jalan dan menutup pintu keluar-masuk warga perumahan disitu. Kedua, adakah izin dari local authorizer, entah dari kecamatan atau kelurahan.

Dari keterangan salah seorang pedagang, tiap harinya… tepatnya selama empat jam berjualan mereka dikenakan retribusi Rp4500.-. Dua ribu lima ratus buat keamanan yang diorganisir sebuah ormas kedaerahan, sisanya dua ribu, katanya buat kelurahan. Namun tiap timbul kemacetan, nggak pernah ada dari pihak keamanan yang nongol buat ngatur kesemrawutan di situ. Justru kadang-kadang pedagang disitu yang membantu kelancaran arus lalu-intas.

Tak heran karena nggak ada yang jaga, para maling spesialis motor leluasa melakukan aksinya. Terbukti… sudah dua motor hilang saat diparkir. Kalo gitu buat apa bayar retribusi keamanan kalo macet nggak ada yang ngatur dan masih ada motor yang raib? (*)