Mungkin tidak ada orang Jawa yang tidak mengenal sosok Ki Nartosabdo, pun masyarakat Jawa yang kini menetap di berbagai belahan dunia pasti mengenal seniman besar yang ikut mewarnai sejarah budaya Jawa tersebut.
Sebagai orang yang terlahir di tengah hiruk-pikuknya the Rolling Stones, saya memang belum mengetahui beliau secara utuh dan mendalam.
Saat usia yang hampir mendekati 40 tahun dan isi otak sudah 100% contaminated bermacam budaya, saya justru semakin menikmati gendhing-gendhing kreasi dari seniman asal Desa Krangkungan, Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten ini.
‘Persinggungan’ dengan Ki Nartosabdo dimulai saat bapak saya hampir setiap hari selalu memperdengarkan gendhing-gendhing beliau, baik melalui radio atau kaset, sehingga mau tidak mau saya yang waktu itu masih duduk di bangku SD terpaksa harus menikmati ‘genre Ki Nartosabdan’ (gendhing-gendhing yang diciptakan oleh Ki Nartosabdo).
Boleh jadi saya terkena falsafah Jawa, witing tresno jalaran soko kulino. Gimana nggak tresno, wong tiap hari dicekoki jenis musik yang kini diakui dunia melalui World Heritage-UNESCO. Tidak hanya gendhing-gendhingnya, bapak saya juga seorang penikmat gaya mendalang yang dipertontonkan oleh Ki Nartosabdo, entah cara sabetannya atau cengkok suaranya.
Hampir tiap minggu saya ‘disuguhi’ berbagai lakon wayang kulit. Karena itu, saya pun hafal nama tokoh dan karakter dari dunia pewayangan tersebut. Apalagi jika sudah masuk sekuel goro-goro. Sekuel ini merupakan babak dalam pagelaran wayang yang ditandai dengan kemunculan para punakawan. Atau kemunculan ibu dan anak, limbuk – cangik. Disini penonton disuguhi humor yang ger-ger-an.
Bapak saya pernah bercerita, Ki Nartosabdo adalah seorang seniman yang belum ada tandingannya. Ia bukan saja menghibur, tetapi juga memeberikan nasihat-nasihat melalui lakon-lakon wayang kulit yang dibawakannya.
Lagu-lagu Ki Nartosabdo banyak memuat nasihat, filosofi dan pelajaran hidup. Tak heran bila Bung Karno menjadikan Ki Nartosabdo sebagai dalang kesayangannya. Meski menganut gagrak Surakarta, Ki Nartosabdo tidak melulu fanatik dengan gaya tersebut.
Dalam setiap pementasannya, Ki Nartosabdo tidak jarang membawakan gagrak Yogyakarta atau Banyumasan. Saat memainkan lakon Kresna Duta di RRI Jakarta, 28 April 1958, Ki Narto mengkombinasikan dua gaya yang “berseteru” itu.
Disamping itu 319 gendhing yang sudah ia ciptakan, sehingga sampai kini karyanya masih mendapat tempat di hati para pencintanya. Secara kualitaspun belum ada yang mampu memyamainya. Karena memang karya-karyanya enak didengar dan easy listening.
Sembilan kendang
Contoh dalam lagu Swara Suling. Ki Nartosabdo memainkan lagu itu dengan sembilan kendang sekaligus dan tiga tambur, sehingga suara kendang mendominasi lagu tersebut.
Cara memukul kendangpun menggunakan ibu jari. Sampai-sampai Swara Suling yang dimainkan oleh dalang siapapun dalam pementasan wayang kulit, tembang itu “sepersis” mungkin dimainkan seperti aslinya.
Gendhing-gendhing ciptaan Ki Nartosabdo lainnya yang cukup populer seperti, Praon atau perahu layar yang banyak dinyanyikan artis dangdut, Lumbung Desa, Lesung Jumenglung, Saputangan, Ojo Lamis, Ojo Dipleroki dan masih banyak lagi.
Ki Nartosabdo lahir pada 25 Agustus 1925 dengan nama kecil Sunarto. Dia bungsu dari delapan bersaudara pasangan Partotanayo, seorang pengrawit, dan Madiah, seorang mranggi atau pembuat rangka keris. Sunarto kecil yang berusia 11 tahun telah mampu memainkan ricikan rebab, kendang, dan gender. Pada 1940 dia bergabung dengan grup ketoprak Budi Langen Wanodya. Dia bertahan dua tahun dalam kelompok itu.
Pada 1945 dia menjadi pemain kendang pada grup Sri Wandawa sebelum bergabung dengan Ngesti Pandawa pimpinan Sastrasabda. Lelaki itulah yang memberi nama Nartosabdo pada 1950. Tahun itu pula dia menikah dengan Tumini dan memiliki seorang anak bernama Jarot Sabdono.
Pendidikan formal Sunarto hanya sampai kelas IV Standar School Muhammadiyah di Wedi. Keterampilan sebagai dalang wayang kulit diperoleh secara otodidak dan belajar pada beberapa dalang ternama seperti Ki Gitocarito dari Sukoharjo yang bermukim di Semarang.
Selain itu dia juga belajar mendalang pada Ki Pujosumarto dan Ki Wignyo Sutarno. Dari guru yang disebut terakhir itu, Ki Nartosabdo belajar banyak mengenai dramatika pewayangan.
Pada era 1950 sampai 1970, jadat karawitan Jawa memiliki tiga komposer yang hebat dan saling mengisi, yakni Tjakrawarsita, RL Martopangrawit dan Ki Nartosabdo. Sebenarnya ada satu lagi komposer yang segenerasi namun kurang begitu terkenal, RC Hardjo Subroto.
Kalau dahulu saya sempat nggak mudeng dengan lagu-lagu beliau, sekarang saya berusaha menyempatkan waktu –walau seminggu sekali– untuk mendengarkannya. Meski menggunakan bahasa Jawa, saya lumayan mengerti walau bingung jika menemukan bahasa tinggi khas priyayi, krama inggil.
Genjer-genjer
Salah satu lagu ciptaan Ki Nartosabdo yang menimbulkan kontroversi adalah Genjer-genjer. Di zaman Orde Baru lagu ini menjadi sangat “haram” dinyanyikan. Lagu yang selalu dihubungkan dengan pergerakan partai komunis Indonesia yang sampai kini pun belum ada kejelasan dimana dari syair lagu yang berlawanan dengan rezim saat itu.
Menurut Ki Manteb Sudarsono seperti dikutip Suara Merdeka, lagu ciptaan almarhum dalang Ki Nartosabdo itu sama sekali tak memuat syair atau kata-kata yang mengeritik pemerintah, ataupun memuat ajaran komunis di dalamnya.
“Silakan diperiksa lirik lagunya, apakah ada kata-kata yang mengkritik pemerintah, ataupun ada ajaran komunis yang sengaja diselipkan di dalamnya,” kata Ki Manteb Soedarsono, yang pernah belajar kepada Ki Nartosabdo di Solo.
Ia menjelaskan, lirik lagu Genjer-genjer sebenarnya menggambarkan kerukunan sepasang suami istri yang sedang memetik daun genjer-genjer untuk dijadikan hidangan makan di rumah.
“Jika lagu ini lantas dikaitkan dengan peristiwa G-30-S PKI, itu salah orang itu sendiri. Tetapi yang jelas, lirik lagu tersebut hanya menggambarkan kerukunan hidup sepasang suami isteri,” ujarnya. Terlepas dari kontroversi lagu tersebut, Ki Nartosabdo telah meninggalkan banyak pembaruan dalam seni perkeliran, pedalangan dan karawitan Jawa. Rekan-rekannya pun mengakui bahwa beliau merupakan dalang terbaik yang pernah dilahirkan.
Beberapa saat sebelum Ki Nartosabdo wafat, beliau menciptakan sebuah gendhing yang ia beri judul Lelayu (kematian). Ki Nartosabdo wafat pada tanggal 7 Oktober 1985 dalam usia 60 tahun. Lelayu pulalah yang mengiringi jenazah sang maestro ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Semarang.
Walau jasadnya sudah terkubur tanah, namun karya-karya Ki Nartosabdo tak lekang dimakan usia. Semua bisa menikmati, bukan saja masyarakat Jawa tapi seluruh masyarakat Indonesia. Karena Ki Nartosabdo bukan hanya seorang dalang, ia seorang penggubah, pencipta lagu dan gendhing-gendhing Jawa. Seorang penghibur yang lengkap dan mumpuni. Seorang troubadour. (*)
Yang kasih komentar