Tukul, laptop dan anggota DPR

23 03 2007

Suka atau tidak suka, reality show ‘Empat Mata’ yang dipandu komedian Tukul Arwana membuat anggota DPR di Senayan ikut-ikutan terjangkiti virus ‘Tukulisme’.

Berjargon, ‘kembali ke laptop’ Tukul telah menginspirasi anggota dewan yang terhormat untuk ‘ingin tahu lebih dalam’ tentang laptop kalau tidak bisa dikatakan latah.

Mereka berpikir, Tukul yang ‘wong ndeso, katro dan kutu kupret’ saja kerja dengan laptop, masak kita yang dewan terhormat kalah sama Tukul. “Buat membantu dan mempercepat kerja kita,” kata seorang anggota dewan saat ditanya Tukul perihal fungsi laptop pada tayangan ‘Empat Mata’ Rabu (21/3).

Padahal fasilitas komputer sudah tersedia di ruang kerja mereka masing-masing. Jadi fungsi laptop buat apa? Apakah dengan laptop kinerja mereka akan membaik? Padahal banyak kasus yang lebih penting dari sekedar laptop belum terselesaikan. Beras mahal, contohnya.

Roy Suryo seorang pakar telematika mengatakan, pembelian laptop bagi 550 anggota DPR merupakan tindakan yang tidak ada manfaatnya dalam mendukung kinerja sebagai wakil rakyat. “Staf DPR ini sudah memiliki komputer di ruangannya. Lantas buat apa beli laptop. Ini kan jadi mubadzir,” katanya seperti dikutip ANTARA News.

Kalaupun pengadaan laptop ini disetujui, yang jadi pertanyaan apakah anggota dewan –maaf– semuanya bisa mengoperasikan alat canggih itu. Jangan-jangan mereka menuntut pula supaya dikursuskan komputer.

Selain itu, siapa sih… yang dapat menjamin tidak adanya praktik korupsi atau mark-up. Jika satu unit laptop seharga Rp21 juta (harga yang diajukan) dikali jumlah anggota dewa sebanyak 550 orang. Maka uang yang akan dikeluarkan negara –melalui APBN– adalah sebesar Rp11,5 miliar! Andai saja rupiah sebanyak ini digunakan untuk merehabilitasi sekolah yang hancur karena gempa atau untuk mensubsidi harga benih padi.

Tapi, inilah cerminan wakil rakyat dari negeri yang hampir sekarat ini, wakil rakyat yang selalu mendahulukan kepentingan pribadi, bukan rakyat yang telah memilihnya. Cerminan komunitas orang-orang pilihan yang untuk membeli sebuah komputer jinjing saja harus menggunakan uang rakyat.

Kita tunggu saja apakah nanti akan kita lihat adakah anggota dewan menjinjing laptop saat mengunjungi korban bencana alam, saat meninjau pasar tradisional atau ketika studi banding di luar negeri.

Mengunjungi korban di daerah terpecil dengan menjinjing laptop, atau saat menanyakan harga sembako di pasar tradisional, bukankah malah merepotkan. Bisa-bisa malah jadi bahan tertawaan. “Kirain Tukul yang datang”? kata seorang pedagang beras –mungkin– di pasar Kramatjati tatkala anggota dewan datang meninjau.

Mereka pun toh… akhirnya dapat menyimpulkan bahwa tidak ada beda antara para anggota dewan dengan Tukul Arwana, Sama-sama lucunya. Yang pertama collective comedians yang lucunya ala murid taman kanak-kanak, satunya lagi komedian sungguhan yang menghidupi keluarga dari ‘kristalisasi keringat’.

Berbekal ‘laptop pinjaman’ dari tim kreatif Empat Mata, setiap malam Tukul terus menghibur, membuat masyarakat melupakan sesaat kesulitan hidup. Ia telah menjadi ikon baru di tengah masyarakat yang telah penat menyaksikan talk show yang isinya cuma basa-basi ataupun sinetron-sinetron bertemakan hedonisme dan klenikisme.

Untuk produser acara ini tolong agar para anggota dewa diundang di acara Empat Mata, mudah-mudahan mereka bisa mengikuti langkah seorang ‘smart host’ seperti Tukul, yang dengan laptop bisa menarik applaus dan simpati masyarakat luas. (*)





Dialog imajiner dengan Gajah Mada

13 03 2007

Dialog imajiner  ini merupakan perbincangan imajinasi  antara penulis, Imung Murtiyoso (IM) dengan Panglima Kerajaan Majapahit, Mahapatih Gajah Mada (GM).

Berikut isi dialog tersebut:

IM : Nyuwun sewu patih, mungkin saya mengganggu istirahat patih.

GM : Oh ndak, ada perlu apa sampeyan, mungkin ada yang bisa saya bantu.

IM : Anu patih, saya mau tanya kenapa di bumi nusantara ini bencana kok tidak pernah habis-habisnya, padahal seperti patih ketahui, penduduk nusantara ini semuanya beragama, ramah-tamah, murah senyum dan banyak lagi kebaikan lainnya?

GM : Betul, semua yang sampeyan sebutkan adalah benar adanya. Tapi kalau kebaikan disandingkan dengan kemaksiatan jadinya ndak ada manfaat, malah merusak. Misal, pergi ke tempat ibadah rajin, korupsi juga jalan terus, bersedekah rajin, tapi mencuri juga nggak telat. Akhirnya kebaikan bercampur dengan kejahatan. Lha ini kan kontradiktif.

IM : Benar patih, saya juga sependapat, mental para birokrat di nusantara memang sudah bobrok.

GM : Ndak itu saja, coba sampeyan lihat, beras subsidi yang seharusnya diberikan buat masyarakat miskin, eh … ndak tahunya ditimbun, disembunyikan oleh cukong-cukong agar di kemudian hari bisa dijual lebih mahal lagi. Wah apa ini ndak memancing amarah Tuhan.

IM : Betul sekali patih, sebagai orang awam saya sendiri bingung dengan kelakuan mereka itu.

GM : Ndak.. ndak usah bingung, biar yang bingung para pejabatnya saja. Mereka kan bingung mau melakukan apa. Bingung mau bohong apa lagi. Bingung cari-cari alasan. Bingung karena disumpah-serapahi oleh jutaan orang di Nusantara ini.

IM : Tapi patih, nusantara dari dulu kan sudah ‘gemah ripah loh jinawi’, tapi kenapa rakyatnya susah dapat beras, minyak tanah. Kok seperti ‘tikus mati di lumbung padi’. Apa ada yang salah patih?

GM : Memang dari dulu sudah salah, sekarang coba sampeyan perhatikan, kenapa lahan sawah yang seharusnya buat menanam padi, sudah berubah jadi perumahan, mal, pom bensin atau rumah makan. Para pejabat di nusantara banyak yang ABS, ‘asal bapak senang’. Mereka berandai-andai bahwa tahun ini akan berswasembada beras. Kita akan panen raya. Nyatanya malah impor beras. Betul ndak? Jadi sampeyan ndak usahlah bingung.

IM : Iya patih, semoga saya tidak bingung. Bolehkah saya mengajukan satu pertanyaan lagi patih?

GM : Boleh, tapi jangan panjang-panjang, saya kuatir nanti sampeyan bingung lagi.

IM : Begini patih, nusantara kok nggak sejaya dan seberani seperti zaman patih dahulu, dulu patih bisa menguasai dan menyatukan seluruh nusantara. Konon Kamboja dan Siam yang letaknya jauh sekalipun sempat patih kuasai. Tapi negeri-negeri kecil seperti Tamasek dan Melaka sekarang sudah berani mengusik harga diri nusantara. Mereka berani masuk ke wilayah nusantara tanpa izin dan ujung-ujungnya mengklaim sebagai wilayah mereka. Ada yang ngambil pasir sesuka hatinya buat memperluas negaranya. Ini bagaimana patih?

GM : Wah kalau ini agak sulit menjawabnya, kalau dulu sewaktu saya masih menjadi panglima kerajaan Majapahit, setiap negeri yang ingin memberontak atau menyerang Majapahit saya taklukan dulu. Ya.. kalau menurut bekas perdana menteri Aussie, John Howard namanya ‘pre-emptive strike’. Biasalah gaya preman, pukul dulu… urusan belakangan.

IM : Tapi bukankah itu melanggar kedaulatan sebuah negeri?

GM : Kalau ndak mau melanggar wilayah negeri lain, saya usulkan kepada pemerintahan sampeyen, agar menembak setiap pesawat atau kapal yang coba-coba masuk ke wilayah nusantara. Cuma masalahnya apakah panglima nusantara ‘berani dan tega’ melakukan itu.

IM : Betul patih, kenapa nusantara yang besar kok yang mau-maunya dilecehkan sama negeri-negeri itu. Padahal seperti usul patih, dewan rakyat udah setuju supaya pesawat atau kapal yang masuk agar ditembak saja. Tapi usul ini ditolak menteri pertahanan dan panglima. Saya jadi bingung.

GM : Tuh kan sampeyan bingung lagi. (*)